Ketika membuat tulisan ini, saya iseng mencari di Google. Ternyata, bidan Wiwid ini memang bukan bidan biasa. Ia pernah mendapat penghargaan dari sebuah lembaga internasional untuk kemanusiaan. Kisah hidupnya juga tidak biasa. Lengkapnya, bisa dilihat di link berikut.
Bidan itu bernama Wiwied. Wajahnya ramah dan terlihat ada darah tionghoa mengalir di dirinya. Tapi dia bukan bidan biasa, seperti yang ada di benak orang pada umumnya.
***
Siang itu, saya dan rekan KMPA bernama Fya mengantar seorang siswi diklatsar yang harus mendapat perawatan medik ke puskesmas karena kondisi fisik yang memburuk. Dia nampak kekurangan cairan dan ada beberapa luka luar yang harus dirawat segera. Kami keluar dari hutan dan mencari puskesmas terdekat di suatu desa di sudut utara Lembang. Sebuah desa yang jauh dari kota Bandung, bahkan dari Lembang pun masih cukup jauh. Sayangnya, puskesmas desa tersebut kebetulan sedang tutup karena hari libur. Dan mobil kami akhirnya berhenti di sebuah klinik bidan di tepi jalan.
Dari luar, kliniknya memang sederhana. Tapi bersih dan rapi. Temboknya berwarna hijau. Saya pun melongok ke dalam, mencari perawat di dalam. Lalu keluar ibu bidan Wiwied,
“Kenapa ini? Lagi diksar ya? Udah hari ke berapa?”, bidan Wiwied secara ramah menyapa, seperti sudah biasa berhadapan dengan “korban” diksar 🙂 Saya pun menjawab,
“Hari ke sekian bu.”
“Wah, tanggung dong. Bentar lagi selesai”, kalimat bidan Wiwied semakin meyakinkan saya bahwa beliau sudah sangat lazim berhadapan dengan kasus ini.
“Ya udah, sini saya rawat dulu”, kemudian bidan Wiwied dan Fya pun masuk ke ruangan untuk merawat si siswi.
Singkat cerita, perawatan si siswi pun dilakukan oleh bidan Wiwied dan timnya. Saya melihat dari luar, bidan Wiwied dan tim nampak bekerja sangat baik dan telaten. Ia membersihkan semua luka dan memandikan si siswi. Setelahnya, ia pun meminta si siswi untuk istirahat, sampai infus yang diberikan habis.
Selama menunggu, saya, Fya, dan beberapa panitia istirahat di teras klinik. Saya yang mulai bosan, mencoba melihat-lihat kondisi sekitar. Ternyata, bangunan klinik ini bergabung dengan rumah bidan Wiwied. Di sini lah saya mulai sadar bahwa bidan Wiwied ini agak spesial.
Ternyata, bangunan rumah di belakang klinik adalah sebuah rumah yang cukup besar dan mewah. Mobil yang terparkir pun sebuah Fortuner putih. Tidak lama, seorang gadis kecil manis berparas tionghoa pun keluar dari dalam klinik. Ternyata ia adalah anaknya bidan Wiwied. Dari penampilannya, gadis kecil nampak terawat dan terlihat sekali berasal dari keluarga berada. Ia bersekolah di kota Bandung, yang jaraknya lebih dari satu jam dari desa ini.
Sepanjang siang, pasien seperti tidak henti-hentinya datang dan pergi dari klinik. Sepertinya, penduduk sekitar begitu mempercayakan kesehatan mereka pada bidan Wiwied. Dan nampaknya, bidan Wiwied tidak mematok harga terlalu mahal untuk pengobatan di sana. Makanya penduduk sekitar tidak ragu untuk berobat di situ.
Saya mulai berpikir, bidan Wiwied ini jelas keluarga yang berada. Klinik dan rumahnya bisa dibilang paling “rapi” di jalan desa itu. Tapi kenapa ia memilih tinggal di desa ini? Mengapa memilih membuka klinik bidan sendiri dari pada menjadi bidan di kota? Di kota tentu ia bisa mematok tarif yang lebih mahal. Pasiennya pun mungkin lebih banyak.
Saya mulai mereka-reka jawabannya. Ia memilih tinggal di sini, padahal kedua anaknya tetap bersekolah di kota Bandung, karena suasana di desa ini sangat tenang. Udaranya bersih dan bebas kemacetan. Penduduknya mayoritas berkebun dan berternak sapi. Mungkin ia memilih tinggal di sini karena merasa damai hidup di desa ini.
Ia bisa saja tetap bekerja di kota, seperti anaknya yang sekolah di kota. Tapi ia memilih membuka klinik di desa ini untuk melayani penduduk desa ini dalam urusan kesehatan. Desa ini jelas sangat jauh dari rumah sakit besar. Hanya ada puskesmas di balai desa. Sementara, klinik bidan Wiwied ini sangat rapi, alatnya lengkap, dan ruangannya tertata rapi. Seperti “rumah sakit kecil”.
Bidan ini sepertinya memilih untuk jadi “bidan desa”. Dan jelas, penduduk sekitar begitu merasakan manfaatnya. Saya dan panitia yang menunggu di teras pun merasakan kebaikannya secara konkret. Beberapa buah jagung rebus dan dua gelas kopi disuguhkan oleh asisten bidan Wiwied seraya berkata, “Kata ibu, harus dimakan.” Kami pun menurut saja 🙂
***
Sore mulai menjemput. Ternyata infus si siswi sudah habis dua kantong. Ia sudah boleh kami bawa ke kota. Sambil beres-beres, saya dan Fya mulai menerka-nerka biaya pengobatannya. Perawatannya sekujur tubuh. Infusnya dua kantong. Saya khawatir uang kami kurang.
Fya pun mengurus administrasinya dengan bidan Wiwied langsung. Ia menuliskan nominal 300.000 di selembar kuitansi. Mungkin memang sudah standarnya segitu. Tapi sayang, uang kami jelas kurang. Fya hanya punya 100.000 sementara saya hanya punya 85.000. Itu pun hasil merogoh semua kantong dan tas. Wajar saja. Kami baru keluar dari hutan.
Saya pun baru ingat, saya bisa pakai m-banking untuk transfer biaya itu langsung ke rekening bidan Wiwied. Tapi setelah kami bilang uang kontan kami hanya 185.000 dan saya bisa lunasi lewat m-banking, ia lantas mencoret nominal 300.000 itu dan menggantinya dengan angka 200.000. Saya bersikeras ingin melunasi lewat transfer. Tapi bidan Wiwied juga bersikeras menolak dan bilang, “Udah ga apa-apa, 15 ribunya jadi berkah aja.”
Saya dan Fya saling bertatap, mengisyaratkan “Aduh, si ibu ini baik banget.” Kami pun berterima kasih berkali-kali atas kebaikan bidan Wiwied.
Kebaikan bidan Wiwied tidak berhenti di situ. Ketika kami bersiap untuk pulang, ia bertanya selanjutnya akan kami bawa ke mana si siswi ini? Kami mengatakan bahwa akan kami bawa ke rumah sakit di kota untuk dirawat, sesuai rekomendasi bidan Wiwied. Tapi ia justru mengatakan bahwa daripada dirawat di rumah sakit tapi tidak ada yang standby menemaninya, lebih baik si siswi dirawat oleh bidan Wiwied saja di klinik ini. Bidan Wiwied tentunya bisa membantu kapan saja karena rumahnya di belakang klinik. Ia bahkan berkata, “Setelah pelantikan, kalau kalian siswinya mau dirawat saya di sini, pencet aja belnya. Jam berapa pun.”
***
Kami memutuskan untuk merawat si siswi di rumah sakit di kota. Terlalu jauh rasanya kalau harus dirawat di klinik bidan Wiwied. Nanti kami kesulitan menjaganya.
Bidan Wiwied meninggalkan kesan yang tidak biasa pada saya. Image bidan di benak saya banyak berbeda dengan image bidan Wiwied. Kedamaian dalam hidup ia coba capai dengan memilih tinggal di desa yang jauh dari kota ini dan berbuat baik pada penduduk sekitar sebagai bidan. Manfaat yang dia beri jelas terlihat dirasakan oleh warga. Saya melihat pasiennya begitu variatif, dari balita, remaja, hingga manula. Dan satu lagi, sepertinya suami bidan Wiwied sudah lebih dari cukup memberikan penghidupan untuk bidan Wiwied dan keluarga. Benar atau tidak, tapi sikapnya yang menomorsekiankan biaya demi kesehatan pasiennya, harus bisa dicontoh oleh orang banyak.
Terima kasih sekali lagi bidan Wiwied.