Prang!!! Akhirnya puasa menulis ini pecah juga. Sudah mulai jengah rasanya tidak menulis isi kepala (which seriously done) hampir setahun ini. Mudah-mudahan berbagi cerita dan pikiran ini bisa jadi jalan manfaat buat yang baca ya. Aamiinn.
Saya sebenarnya sudah melongkap beberapa kewajiban menulis, terutama tentang perjalanan saya dan istri saya, yang mulanya hanya teman sekelas, dan akhirnya kini jadi teman sehidup semati š Tapi, secara saya cukup sulit mengembalikan mood menulis ini, jadi ya sudah, apa yang ada di kepala dicurahkan saja segera, mumpung masih mau, hehe…
Di bulan ke-9 pernikahan kami, alhamdulillah masih banyak hal manis yang kami alami, dan semoga semakin banyak. Namun hal pahitnya juga pasti ada dan ga bisa dibilang sedikit juga. Tapi saya selalu menekankan ke diri sendiri, dan juga ke istri, bahwa salah satu semangat yang harus terus dijaga itu adalah semangat belajar. Belajar dari APAPUN dan tentang APAPUN. Baik itu dari sekedar rasa masakan yang kurang asin, atau dari kerutan karpet yang selalu ada setiap saya bangun dari duduk. Baik itu tentang memahami karakter pasangan seutuhnya, atau tentang teknik menyusun baju supaya rapi dan muat di lemari. Semua hal! Karena saya yakin, kami yakin, bahwa mental pembelajar lah modal paling penting dalam menjalani semua ini. Orang dungu pun bisa jauh lebih beruntung dari si pintar jika mental pembelajarnya ribuan kali lipat.
Dan belajar memahami pasangan ialah salah satu hal yang paaaling berat untuk dijalani. Gimana nggak?
Pertama, dan paling utama, saya lelaki dan istri wanita (dan alhamdulillah begitu :P). Hal paling mendasar ini lah yang membawa segudang materi perkuliahan untuk dipahami. Bukan sekedar materi kuliah umum yang cukup dengan skill mengarang saja sudah bisa dapat A. Tapi materi kuliah yang dipakai oleh penulis naskah Interstellar dalam menyusun filmnya, luar biasa rumit dan bahkan tidak pernah kita dengar sebelumnya. Hmm, mungkin saya akan bahas ini di tulisan terpisah saking banyaknya perbedaan yang harus kami pelajari, hanya karena saya mengutamakan logika, dan istri saya, secara fitrah, lebih mengutamakan rasa.
Kedua, kami tidak menjalani pacaran seperti artis-artis di TV, seperti anak-anak SMU di film Diam Diam Suka, atau seperti drakula dan manusia seperti di film Ganteng-Ganteng Serigala. Kami hanya sempat kenal waktu SMA, lalu menyimpan diam-diam kekaguman pada satu sama lain. Hmm, mungkin saya agak-agak lebih terbuka ya soal ini hehe..
Tapi poinnya adalah kami baru benar-benar mulai berinteraksi secara intensif dan mengenal dari interaksi tersebut, setelah kami menikah. Sebelumnya, komunikasi kami hampir seluruhnya via media elektronik (yaa sesekali media cetak juga). Itu pun kami jalani dengan sangat hati-hati, karena kami berdua alhamdulillah sudah paham soal koridor-koridor yang terlarang untuk dijajaki selama belum menikah. Yang cukup membantu ya ketika proses menjelang pernikahan (kurang lebih 2 tahun sebelumnya :P) karena kami beberapa kali bertemu secara fisik dan membicarakan satu dua hal. Tapi lagi-lagi, itu pun tidak intensif. Saya lebih sering berduaan dengan bapak mertua malahan. Bahkan hampir-hampir disuruh nikah sama bapaknya saja š Singkatnya ialah kami belum begitu tau hal-hal apa saja yang ia “terbiasa” dengannya, dan hal-hal apa yang jadi “kebiasaan” nya.
Nah, dua poin ini yang ingin saya angkat di tulisan ini. Bahwa masing-masing dari kami membawa dua elemen yang mengandung kata “biasa” dari kehidupan kita masing-masing. Hal itu ialah “kebiasaan” dan “keterbiasaan”. Untuk soal kebiasaan, saya sudah menyadarinya bahkan sebelum menikah. Namun untuk “keterbiasaan”, saya baru memahaminya belakangan ini. Apa bedanya?
Kebiasaan ialah perilaku, amalan, aktivitas, atau sikap yang kita sering melakukannya, berulang-ulang, baik secara sadar maupun tidak. Kadang positif, tapi lebih sering negatif. Kebiasaan ini yang mutlak hanya bisa teramati jika kita sudah mengalami interaksi langsung secara intensif dan lama dengan seseorang. Misalnya, saya baru tau kebiasaan seorang teman yaitu suka buang angin sembarangan, hanya jika kita sudah berinteraksi cukup lama, cukup intensif. Kenapa? Karena kebiasaan-kebiasaan itu, terutama yang buruk, tidak akan pernah tampil dan ditampilkan di awal-awal pertemuan. Tidak mungkin kita sekonyong-konyong “ngupil” di depan orang yang baru kita kenal di kereta. Alasannya? Jelas untuk menjaga image. Tapi, kita tentu sudah nggak segan-segan lagi untuk “ngupil” di depan teman-teman akrab kita atau adik kakak kita. Secara nggak sadar, kita jadi lebih merasa “bebas” untuk menunjukkan kebiasaan-kebiasaan kita, terutama yang buruk, jika kita sudah relatif dekat dengan seseorang.
Apa itu buruk? Hmm, saya angkat sisi baiknya dulu. Positifnya ialah, itu menjadi indikator bahwa seseorang sudah merasa dekat dan nyaman dengan kita. Sangat nyaman. Hingga ia sudah menafikan rasa gengsinya di depan kita. Negatifnya? Jelas ketika kebiasaan itu cukup buruk, bahkan bisa mencoreng image kita di depan seseorang, atau bahkan sudah pada level mengganggu dan mengkhawatirkan, kebiasaan buruk bisa jadi bom waktu. Seiring melunturnya toleransi, kebiasaan buruk yang mengganggu ini bisa suatu saat jadi bahan konflik yang sangat berbahaya, karena sudah menyerang salah satu sisi paling melekat dengan diri seseorang. Seperti kalau kita sudah menghina fisik seseorang, si hidung pesek misalnya. Mengangkat kebiasaan buruk seseorang sebagai bahan celaan juga bisa sangat melukai, karena kebiasaan melekat dengan kepribadian.
Dalam pernikahan pun begitu. Sebelum menikah dan di awal pernikahan, kebiasaan-kebiasaan buruk ini akan ditekan sekuatnya supaya nggak muncul. Wajar. Karena manusia cenderung ingin mempertahankan citra baik di mata manusia lainnya, apalagi seseorang yang kita sukai. Namun seiring berjalannya waktu, kebiasaan-kebiasaan buruk kita pun mulai muncul. Seiring dengan rasa dekat dan nyaman tadi yang semakin kuat. Sudah satu paket.
Nah, yang jadi soal ialah tentang TOLERANSI dan keinginan untuk MEMPERBAIKI. Seberapa toleran kah kita terhadap kebiasaan buruk pasangan, dan seberapa besar keinginan kita untuk memperbaiki kebiasaan buruk kita yang tidak disukai pasangan. Dua hal ini juga harus sepaket datangnya. Toleransi artinya kita mencoba “menerima”, dan memperbaiki kebiasaan artinya kita coba “memberi”. Sebisa mungkin, kita menghindari sikap “meminta” atau “menahan”. “Meminta” pasangan kita untuk memperbaiki kebiasaan buruknya, meski di beberapa hal diperlukan, cenderung sulit dan melukai, apalagi kalau penyampaiannya salah. Itu ibarat meminta seseorang supaya hidungnya yang pesek dibuat mancung. Mungkin kebiasaan buruk itu memang masih bisa diubah, nggak seperti hidung pesek. Tapi akan lebih baik kalau dirinya sendiri lah yang menyadari dan berusaha memperbaiki. Sedangkan “menahan” maksudnya acuh dan membiarkan kebiasaan buruk kita semakin menjadi, meski sudah jelas pasangan kita kurang menyukainya. Saya coba menekankan pada diri sendiri bahwa semuanya mesti bermula dari “saya” dulu, dari apa yang bisa “saya” lakukan.
Nah, gimana dengan “keterbiasaan”? Saya pakai istilah ini untuk merujuk pada kondisi-kondisi yang kita terbiasa dengannya. Contohnya, saya terbiasa meminum teh hangat setiapĀ pulangĀ kerja, saya terbiasa mendapati teh hangat itu sudah tersaji di meja nggak lama setelah saya tiba. Ya, ibu saya yang membuatnya. Atau, di rumah, saya terbiasa mendapati setiap waktu makan tiba, nasi, lauk, dan sayur sudah tersedia di meja makan. Lagi-lagi yang menyediakan ibu saya. Saya tidak perlu repot-repot membeli, mencari, atau memasaknya.
Lalu, bagian mana yang jadi persoalan? Keterbiasaan ini sudah menjadi pola yang melekat di dalam pikiran kita, bahkan sampai-sampai membentuk pola perilaku. Nah, dalam rumah tangga yang baru dibangun, pola ini dibenturkan dengan kondisi baru yang serba berbeda. Sudah tidak ada lagi ibu kita di rumah (tapi kalau yang tinggal sama orang tua atau mertua beda kasus ya). Jika waktu tiba di rumah selepas kerja, saya nggak mendapati teh hangat itu, mesti ada satu dua komponen rasa yang tergelitik (susah dideskripsikannya, maaf jadi agak aneh). Atau, jika waktu makan tiba, perut sudah bunyi-bunyi, tapi ternyata belum ada makanan yang tersaji, empat lima komponen rasa lainnya tergelitik. Lagi-lagi, kesabaran, toleransi, dan kedewasaan kita diuji dari hal-hal sepele macam begini. Seberapa paham kita terhadap kondisinya dan seberapa mampu kita mengendalikan gelitikan-gelitikan rasa tadi.
Itu dari sisi kita. Dari sisi pasangan berbeda lagi. Hal paling umum ialah soal urusan kerumahtanggaan. Misalkan pasangan kita tidak terbiasa mencuci pakaiannya sendiri karena selama di rumah, ada asisten rumah tangga yang mengerjakan. Tapi ketika di rumah tangga barunya harus dihadapkan bahwa salah satu PR yang harus dikerjakan ialah cuci pakaian ini, keterbiasaannya harus dibenturkan dengan kondisi baru. Ini suatu hal baru baginya, dan wajar jika ia butuh beradaptasi. Keterbiasaan lamanya masih mendominasi dan mungkin pikiran dan perilakunya pun masih sama: mendapati semua bajunya sudah bersih dan rapi kembali di lemari.
Melawan keterbiasaan ini juga nggak kalah berat dibandingkan memperbaiki kebiasaan buruk lho. Ada hal-hal yang harus dikorbankan karena kita tidak terbiasa dengannya. Ada tenaga, waktu, dan kadang perasaan segan. Ini yang belakangan ini saya coba pahami dan maklumi, bahwa menghadapi situasi baru, yang mungkin jauh dari keterbiasaan pikiran, jauh dari algoritma dan pola yang sudah terbentuk dan mengakar, butuh usaha dan waktu. Tidak semerta-merta semuanya langsungĀ berjalan normal.
Pernikahan kami ini baru seumur jagung, meskipun saya nggak begitu tau umur jagung berapa bulan. Apakah sekitar 9 bulan atau tidak? Kalau iya berarti kalimat saya sudah benar. Tapi intinya, pasangan-pasangan yang awet sampai tua renta selalu bilang, proses belajar dalam rumah tangga itu ialah proses tanpa akhir. Bukan seperti kuliah yang ada batas wisudanya. Bukan juga seperti seminar motivasi, yang kalau kita nggak paham atau nggak suka materinya, bisa dengan mudah melengos pergi begitu saja.
Jadi mari kita mencoba mentolerir kebiasaan pasangan, memperbaiki kebiasaan buruk diri sendiri, dan memahami kondisi baru yang berbeda, lalu beradaptasi, dan menjadi dewasa bersama.