[Resensi] Mimpi Sejuta Dolar


Kali ini resensi tentang sebuah biografi dari seorang wanita muda bernama Merry Riana. Judulnya Mimpi Sejuta Dolar. Sebenarnya buku ini sudah lama sekali saya baca. Buku itu saya baca hanya dalam satu hari ketika perjalanan berkelana di Bandung (baca: di dalam angkot di tengah macet). Untuk sebuah biografi yang ditulis bukan oleh tokohnya sendiri, buku ini cukup baik menceritakan dan menggambarkan perjuangan tokoh di dalamnya. Perjuangan yang mungkin untuk beberapa kalangan dianggap “terlalu keras terhadap diri sendiri” atau “terlalu money-oriented”. Tapi bagi saya, pesan paling kental yang bisa diambil adalah betapa mimpi itu harus diperjuangkan, bahkan ketika pengorbanan itu di luar batas normal orang-orang pada umumnya.

***

Kisah Merry, yang seorang keturunan tionghoa, berawal ketika kerusuhan tahun 1998. Kala itu, ibukota bak neraka. Terutama untuk mereka yang punya keturunan cina. Bukan hanya tokonya dijarah, tapi mereka yang tionghoa menjadi bulan-bulanan perusuh, dikambinghitamkan atas fenomena krisis moneter saat itu.

Di saat yang sama, Merry remaja baru saja berbahagia merayakan kelulusan SMA. Ia bersama lulusan Santa Ursula lainnya seakan menyambut gerbang menuju mimpi yang sudah meraka susun. Tak terkecuali Merry yang bercita-cita melanjutkan studi ke PTN ternama di Indonesia. Ia sudah membayangkan menjadi seorang mahasiswi dengan kehidupan kampus yang menyenangkan.

Tapi semua cita-cita itu harus dipendam dalam-dalam. Dengan kondisi semencekam itu, banyak warga tionghoa yang akhirnya memutuskan untuk mengungsi sementara ke luar negeri. Orang tua Merry pun berpikiran begitu. Mereka sangat mengkhawatirkan putrinya. Maka dengan berat hati, Merry harus menerima rencana baru dari orang tuanya: melanjutkan studi di Singapura. Meskipun bukan keluarga kaya, mereka memberanikan diri melepas Merry ke Singapura dengan biaya seadanya dan dengan bantuan pinjaman biaya kuliah dari bank Singapura. Sebuah langkah yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh keluarga sederhana itu.

Tapi, keputusan Merry untuk mengikuti keinginan orang tuanya itu, meski sangat berat, justru menjadi pintu menuju kehidupannya yang baru. Seperti langkah itu, kehidupan ini pun belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kehidupan di kampus Nanyang Technology University dilalui Merry remaja dengan penuh perjuangan. Bukan sekali dua ia harus mati-matian bertahan hidup dengan makanan yang sangat sederhana. Bagaimana tidak? Sementara orang tuanya di tanah air membanting tulang mencari nafkah di tengah krisis, ia hanya mendapat kiriman uang yang sangat terbatas. Di Indonesia, dengan uang yang sama mungkin Merry bisa hidup sejahtera. Namun di Singapura, yang dikenal tinggi biaya hidupnya, makan siang dengan sayur tahu di kantin asrama adalah makanan mewah baginya untuk beberapa tahun di NTU. Sisanya, ia sumpal perutnya dengan mie instan atau roti. Ia pun tidak mungkin meminta lebih pada orang tuanya dan hanya bisa “memberi kabar baik” tiap kali berkomunikasi dengan tanah air.

Hebatnya ia, getir kehidupan selama masa krisis moneter di negeri orang itu bukan dijawab dengan keluhan dan kesedihan. Semua kesusahan itu menjadi pecut baginya untuk membuat dan mencapai sebuah mimpi besar: mencapai kebebasan finansial di usia muda. Ya, Mimpi Sejuta Dolar.

Sebuah pengalaman bekerja sebagai pegawai magang di sebuah perusahaan membentuk sebuah opini baru dalam benaknya. Ia berpikir bahwa menjadi pegawai bukan jalan yang sesuai dengan mimpinya. Karena menurutnya, menjadi pegawai adalah karir yang pasti punya “batas”. Batas yang pasti mencegahnya dari mencapai mimpi sejuta dolarnya. Maka dengan penuh pertaruhan, Merry bersama Alva, teman kuliahnya yang kelak menjadi suaminya, memutuskan untuk berjuang dalam dunia wirausaha. Mereka memutuskan untuk menapaki usaha finansial consulting yang diawali dari tingkatan sales produk keuangan yang memasarkan produknya di tempat keramaian. Bisa dibayangkan betapa berat tanggapan lingkungan yang harus ia hadapi. Salah satu lulusan terbaik NTU justru memutuskan untuk menjadi sales.

Tapi ternyata, keputusan itu adalah keputusan yang benar. Menanjaki karir sebagai financial consultant dari nol, hingga pada umur 26 tahun, kurang lebih 4 tahun sejak kelulusannya, ia berhasil mengumpulkan satu juta dolar pertamanya.

Bukan tentang pencapaiannya yang menarik buat saya tapi perjalanan dan perjuangan kerasnya untuk mencapai mimpi itu. Menjadi seorang sales yang harus mencapai target 20 presentasi sehari, meskipun ia harus kuat beraktifitas hingga lebih dari 12 jam sehari. Bagaimana upayanya Merry dan Alva saling menguatkan, juga jadi poin yang menarik untuk direnungkan. Mereka melengkapi satu sama lain.

Sekilas, kita mungkin akan melihat begitu ambisiusnya seorang Merry Riana dengan mimpinya dalam buku ini. Tapi bukan jadi satu hal yang sia-sia selama sikap itu berada pada jalur yang benar. Energinya tersalurkan pada kanal yang benar sehingga bukan sekali dua ia dibukakan jalan oleh Tuhan yang tidak pernah ia kira. Alberthiene Endah sebagai penulis cukup baik menggambarkan emosi seorang Merry ketika ia dihadapkan dengan berbagai kesulitan maupun keajaiban.

***

Bagi saya, buku ini cukup memberi energi. Meskipun ada sedikit ketidakcocokan dengan orientasi materi yang begitu kental, tapi prinsip “perjuangan sampai titik darah terakhir”-nya seorang Merry Riana menjadi satu pelajaran penting. Saya mungkin tidak menuliskan secara detail seberapa keras perjuangannya karena saya rasa lebih baik pembaca sendiri yang membacanya di buku itu.

Jangan heran ketika nanti beberapa kali pembaca berpikir, “Ih, kok segitunya ya orang ini?” atau “Apa harus sekeras itu pada diri sendiri?”.

Tapi kenyataannya memang begitu, perjuangan mati-matian tidak pernah jadi sia-sia, meskipun awalnya terlihat percuma dan tidak ada dampak yang dirasakan. Merry Riana jadi salah satu bukti hidup orang Indonesia yang jerih payahnya diakui dunia.

[Resensi] Rembulan Tenggelam di Wajahmu


Buku ketiga Tere Liye yang saya baca. Layaknya sebuah film, menurut saya sebuah buku pun seharusnya mengikuti teori “15 menit pertama”. Ya, untuk bisa menarik seorang penonton agar bersedia menonton film tersebut sampai selesai, 15 menit pertama harus lah cukup menarik. Untuk sebuah buku, 15 menit ini bisa saja dikonversi menjadi sekitar 50 atau 100 halaman pertama. Sayangnya, untuk sekitar 50 halaman pertama, novel ini buat saya tidak menarik. Bahkan, berhari-hari sejak membeli, novel ini saya telantarkan setelah mendapati “bad first 50 pages” tersebut.

Namun,

cerita khas Tere Liye ini baru menjadi menarik ketika mulai menapaki bagian pertengahan buku. Kenapa? Sebaiknya saya bahas dari awal.

Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang lelaki. Kata “kehidupan” berarti bukan hanya penggalan kejadian atau sebuah perjalanan singkat saja melainkan seluruh hidup sang tokoh utama, dari awal hingga menjelang akhir. Uniknya, tidak seperti sebuah biografi, Darwis memainkan plot dengan cara yang berbeda. Fantasi seorang penulis novel fiksi terlihat sekali di sini. Ia mencoba menceritakan kehidupan seorang manusia dengan sebuah “perjalanan metafisik” yang saya bisa bilang bagian paling fantasis (buat istilah sendiri) dalam buku ini. Beberapa saat menjelang kematiannya, ia diberi kesempatan melakukan perjalanan bersama seorang “berwajah menyenangkan”, yang saya yakin maksud Darwis tentang “pemandu” ini ialah asosiasi dari seorang Nabi Khidir, menapaki kehidupannya dari ia kecil sampai tua. Tapi, tidak sekedar pemutaran ulang sebuah kisah hidup. Ia diberi kesempatan melihat kehidupannya “dari sisi lain”. Dari sisi yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Dan perjalanan ini lah yang pada akhirnya mampu menjawab lima pertanyaan besar dalam hidupnya.

Raehan kecil ialah seorang anak panti yang tidak jelas asal mulanya. Ia seorang anak lelaki bandel dan punya fisik yang kuat dan otak yang cerdas. Sayangnya, lingkungan panti asuhan yang “tidak ideal” membuatnya tumbuh menjadi seorang begundal. Penjaga panti ialah seorang yang “mengeksploitasi” anak-anak panti dengan mempekerjakan mereka di jalanan. Ia pun menyalahgunakan sumbangan dari donatur untuk tabungannya. Bukan sekedar tabungan, tapi tabungan haji. Ini satu kemunafikan pertama dan utama yang melesatkan Raehan dengan kejijikannya terhadap kemunafikan, tumbuh sebagai seorang yang skeptis. Skeptis bahkan terhadap dirinya sendiri dan takdirnya. Skeptis terhadap definisi kebaikan dan kearifan. Dibesarkan di lingkungan terminal dan tempat judi, ia menjadi sosok preman ideal dengan berbagai keberuntungan.

Singkat cerita, banyak kepahitan hidup yang ia alami sejak kabur dari panti asuhan. Namun kepahitan itu sempat berhenti ketika ia dititipkan ke sebuah rumah singgah yang mengajarkannya, untuk pertama kali, tentang arti sebuah keluarga. Anak-anak di rumah singgah begitu berarti baginya. Bahkan ia rela berkelahi dengan para tukang pukul ketika harus membela salah seorang kawannya yang dilukai. Sayangnya, kehidupan di sana berakhir juga dengan cara yang sama: kabur. Tapi, bukan karena kenakalannya ia harus kabur dari sana. Justru karena begitu keras ia membela temannya yang diperlakukan tidak adil oleh orang lain.

Ijinkan saya meringkas ceritanya lagi, karena jujur, saya harus mengakui kelihaian penulis ketika mampu menceritakan kehidupan seseorang dengan unik dan cukup lengkap, hanya dalam sebuah buku. Setelah pergi dari rumah singgah, ia hidup dengan mengamen di kereta. Sampai suatu saat ia bertemu (dan bekerja sama) dengan seorang “pedagang” berlian, yang akibat sebuah kejadian, ia pun lagi-lagi harus “kabur” untuk kesekian kalinya. Kabur dari sebuah rasa bersalah yang akan lebih seru jika Anda baca sendiri ceritanya 🙂

Sebuah lembaran baru hidup Ray (nama baru yang akhirnya ia sematkan untuk dirinya sendiri) dimulai ketika ia memutuskan untuk pulang kampung setelah bertahun-tahun merantau. Sekembalinya ia, kampungnya ada dalam masa pembangunan. Kehidupannya beranjak membaik ketika ia memutuskan untuk menjadi kuli bangunan di sebuah proyek pembangunan gedung bertingkat. Kecerdasan dan mental yang ulet membuatnya naik posisi dengan cepat. Ia pun begitu dekat dan didukung oleh para pekerjanya karena sifatnya yang bersahabat.

Kehidupannya semakin manis ketika ia bertemu seorang gadis cantik di rumah sakit dekat lokasi proyek. Semesta seperti memberinya jalan saat itu karena gadis itu pernah ia temui sebelumnya di gerbong restorasi sebuah kereta. Sebenarnya ada cerita yang menarik di fase ini. Tapi, saya memilih untuk tidak membukanya di sini supaya penasaran 😀 Ya, ia pada akhirnya menikahi gadis tersebut, gadis yang selanjutnya ia panggil “Si Gigi Kelinci”. Pasangan yang sangat berbahagia. Seorang suami yang pekerja keras dan seorang istri yang begitu setia dan ikhlas mendukung dengan segala cara.

Sayangnya, kebahagian lagi-lagi bukan menjadi sahabat karib untuk Ray. Setelah dua kali kehilangan calon anak mereka dalam kandungan, Ray harus rela melepas Si Gigi Kelinci pergi lebih dulu. Terlalu terburu-buru, terlalu cepat. Satu potongan kalimat yang luar biasa dari istrinya ketika menjelang maut, bukan sebuah wasiat atau pesan yang memberatkan Ray. Ia justru berkata,

“Apakah aku cantik? Aku selalu ingin terlihat cantik di depanmu. Apakah kamu ikhlas denganku sebagai istrimu?”

Dan ternyata, di sepanjang kisah di novel ini, sosok Si Gigi Kelinci inilah yang banyak menginspirasi banyak pembacanya. Kenapa? Tere Liye ingin menggambarkan sebuah cara sederhana untuk meraih surga melalui sosok sang istri ini. Detailnya? Lebih baik dibaca sendiri…

Berkali-kali Ray dikecewakan oleh hidup. Setelah sempat ia merasakan manisnya, dengan kejam direnggut paksa. Dan, melarikan diri menjadi jalan yang ia pilih lagi. Kali ini bukan dengan cara yang biasa. Ia melarikan diri ke dalam kesibukan. Bisnisnya bermultiplikasi setelah dengan berani ia memulai proyeknya sendiri. Dari seorang anak panti, preman terminal, dan kuli bangunan, kini ia menjadi konglomerat yang memiliki kerajaan bisnisnya sendiri. Tapi, ternyata itu pun pada akhirnya tidak mampu membayar kebahagiaan yang pernah ia rasakan sebelumnya, saat masih bersama sang istri. Justru yang ia dapatkan, semakin hancurnya, semakin keropos tubuhnya digerogoti penyakit ini itu. Lagi-lagi, ia marah karena untuk kesekian kalinya, langit tidak juga mengizinkannya bahagia.

Kenapa ia bisa dititipkan di panti asuhan sial itu?

Apakah hidup adil?

Kenapa langit tega mengambil istrinya?

Apakah kaya adalah segalanya?

Kenapa ia harus sakit berkepanjangan?

Lima pertanyaan itu yang berteriak-teriak di dalam kepalanya setiap kali ia mengalami peristiwa pahit. Satu pertanyaan setiap satu peristiwa. “Perjalanan metafisik” itu lah yang kemudian menjawab kelimanya. Menjawab bukan dengan kata-kata, tapi dengan menunjukkan peristiwa dan sudut pandang yang selama ini tidak Ray tahu. Seperti apa jawabannya? Justru itu akan jadi spoiler paling besar kalau sampai saya bocorkan di sini.

Apa yang pesan yang paling saya tangkap dari novel ini, ialah bahwa Tere Liye, dengan segala pemikiran dan pemahamannya tentang hidup dan berkehidupan, mencoba menyadarkan pembaca bahwa banyak hal dalam hidup ternyata tidak seperti apa yang kita pikirkan. Perjalanan dan kilas balik yang dialami Ray ibarat potongan-potongan puzzle yang pada akhirnya ia temukan sehingga terbentuklah gambaran hidup yang utuh. Ibarat pola sulaman indah yang selama ini hanya ia lihat sebagai benang kusut permasalahan hidup. Bahwa sebenarnya, tidak ada yang tidak direncanakan oleh Tuhan, bahkan kepahitan. Jika saja kita mau berbaik sangka pada setiap takdir, maka seburuk apa pun yang dihadapi, menjadi suatu hal yang sederhana saja. Bahwa sebagai pemain, yang hanya memainkan “bagian”nya saja, baru akan tahu seluruh cerita ketika semuanya sudah terangkai utuh. Jadi berbaik sangkalah.

Last, saran saya, sebaiknya bersabarlah sampai Anda mencapai pertengahan buku ini. Jangan langsung mencap buruk dulu.

[Resensi] Cloudy With A Chance of Meatballs


Film ini sebenarnya sudah cukup tua. Mungkin dirilis sekitar 2-3 tahun yang lalu. Tapi kebetulan sebuah stasiun TV swasta memutarnya untuk mengisi acara liburan.

Saya tidak akan membahas keseluruhan isi dari film ini. Ada satu aspek dari film ini yang sangat menarik yaitu hubungan antara Flint, tokoh utama seorang ilmuwan jenius, dan ayahnya yang seorang pemilik toko sarden kecil di pinggir jalan.

Kenapa menarik?

Karena somehow, saya yakin banyak pemuda jaman sekarang yang mengalami hal yang hampir sama dengan Flint dan ayahnya.

Sang ayah adalah seorang yang kaku, tidak banyak bicara, dan dingin. Sang ilustrator dengan sangat baik menggambarkan karakter itu dalam sesosok pria besar, dengan kumis sangat tebal, hidung yang berbentuk segi empat-dan memenuhi wajahnya- dan yang paling unik ialah alis mata yang bersambung dan sangat tebal. Sangat tebal sehingga menutupi matanya sama sekali.

Sementara Flint ialah anak muda yang brilian, jenius, namun urakan. Rambutnya selalu berantakan dan tak terawat. Seorang ilmuwan yang punya cita-cita menjadi orang hebat agar bisa membuat bangga ayahnya.

Yang saya soroti ialah usaha Flint dalam menciptakan sebuah penemuan yang bisa membuat bangga ayahnya. Ia pun akhirnya berhasil menciptakan alat yang bisa membuat hujan makanan. Ia cukup memasukkan menunya, lalu turunlah hujan makanan sesuai menu. Kota tempat tinggalnya yang semula sangat terbelakang karena hanya mengkonsumsi sarden sebagai makanan sehari-hari, seketika makmur dan menjadi sorotan dunia karena hujan uniknya. Nama Flint pun membumbung tinggi sebagai pahlawan.

Tapi apakah itu membuat ayahnya bangga?

Ternyata tidak! Justru si ayah sempat mengatakan, “Ini tidak benar,Nak..” Nampaknya si ayah menyadari bahwa hujan makanan membuat penduduk kota menjadi malas. Mereka tidak perlu kerja dan cukup menadahkan piring ke langit. Mereka pun jadi bersikap berlebihan dalam makan. Ayahnya menyadari hal itu. Namun, kelemahan sang ayah dalam berkata-kata membuatnya sulit menyampaikan hal itu pada Flint. Flint pun menangkap sikap ayahnya dengan salah sehingga mereka akhirnya berselisih.

Mungkin fenomena ini banyak terjadi di keluarga jaman sekarang. Ayah punya harapan tertentu terhadap anaknya. Anak punya bakat dan minat yang justu berbeda. Buruknya komunikasi antar ayah dan anak akhirnya melahirkan perselisihan. Padahal, sang anak pun punya cita-cita untuk membuat bangga ayahnya. Padahal cita-cita akhir keduanya sama.

Satu hal yang paling saya ingat adalah momen ketika sang ayah memberikan kepercayaannya pada Flint ketika ia meminta izin untuk melanjutkan alat pembuat hujan makanannya. Ayahnya hanya berkata, “Ayah akan memberimu izin jika kamu bisa menatap mata ayah sambil berkata, ‘Aku akan membuat semuanya baik-baik saja’.” Flint dengan susah payah menatap mata ayahnya -yang biasanya tertutup alis- lalu mengatakan hal itu. Lalu ayahnya pun berkata, “Ok, you know what you’re doing.”

Jalan yang dipilih seorang anak bisa jadi benar-benar melenceng dari apa yang sang ayah rencanakan. Lebih banyak lagi kasus di mana sang ayah memaksakan jalan yang tidak sesuai dengan minat anak. Jangan kira hanya terjadi di FTV atau sinetron! Karena saya pun sudah menyaksikan beberapa kasus serupa di lingkungan sekitar.

Film ini berakhir dengan akhir yang bahagia ketika Flint berhasil menyelamatkan kota dari badai makanan. Alat yang ia buat rusak dan menimbulkan badai makanan yang menghancurkan kota.
Film pun ditutup ketika sang ayah, yang kesulitan berkata-kata, harus dibantu dengan alat penterjemah pikiran untuk mengatakan bahwa ia bangga pada Flint dan sangat mencintainya. Yaa setiap ayah kadang perlu alat ini mungkin 😀

Overall, film ini bagi saya menjadi unik karena aspek di atas ditambah satu hal lagi: imajinasi pembuat yang hebat. Membuat film tentang hujan makanan mungkin tidak terlintas di pikiran kebanyakan orang. Ditambah lagi, banyak bagian-bagian dari film yang cukup imajinatif seperti zombie ayam goreng, alat pengubah air jadi makanan, pizza yang bisa menyerang manusia, dan banyak lainnya yang membuat film ini tidak monoton sama sekali.

[REVISI]

Ternyata film ini terinspirasi dari sebuah buku cerita dengan judul yang sama, bukan murni ide sang pembuat 😀

[Resensi] Negeri Para Bedebah


Pernah dengar istilah Economic Hitman? Atau Economic Warfare? Pada novel karya Darwis Tere Liye, peran seorang Economic Hitman justru dibuat terbalik. Hmm, let’s say Economic Savior. Tapi jangan bayangkan alur cerita yang datar dan membosankan. Justru plot dalam novel ini akan membuat pikiran Anda maju mundur dan selalu bertensi tinggi.

Novel ini secara garis besar menceritakan tentang seorang konsultan finansial yang sangat brilian. Dibesarkan dalam kondisi yang tidak seimbang, seperti kisah Batman, justru Thomas menjadi seorang ahli finansial  yang namanya diakui di dunia. Setiap pidatonya ditunggu pelaku ekonomi di berbagai negara. Setiap prediksinya bak menjadi niscaya di masa depan. Setiap nasihatnya tentang investasi seperti hal yang sangat berharga bagi para investor.

Namun, di tengah kesuksesannya, masa lalunya yang sudah ia tinggalkan jauh-jauh, tiba-tiba muncul ke depan matanya. Ia mempunyai paman seorang pelaku bisnis yang bertangan dingin. Om Liem namanya. Ia menjuragani banyak bisnis di berbagai bidang. Salah satunya di bidang perbankan. Bank Semesta namanya. Bukan cuma namanya yang mirip, tapi kasusnya sama seperti Bank Century. Dalam hitungan jam, bank ini dinyatakan collapse. Semua tabungan dan asset nasabah ludes. Seluruh kekayaan Om Liem menjadi jaminan. Bahkan, dirinya pun harus ditahan dengan tuduhan permainan kotor dalam bisnisnya. Berita menggemparkan ini tiba-tiba saja muncul di hadapan Thomas.

Bukan hanya penggerebekan rumah Om Liem, Thomas pun dihadapkan dengan kondisi tantenya, istri Om Liem, yang sakit keras akibat shock. Berada di tengah kepungan polisi dan Tante Liem yang masih belum sembuh betul, ia hanya punya dua pilihan: membiarkan semuanya terjadi atau mengambil tindakan untuk merubah kondisi menjadi sebaliknya.

Seperti seorang anak manis yang tiba-tiba menjadi liar, Thomas justru memilih jalan nekat. Ia tidak sudi Om Liem dan keluarganya hancur. Otaknya yang brilian dalam hitungan menit menyusun sebuah rencana yang sangat besar dan hampir tidak mungkin dilakukan: menyelamatkan Bank Semesta. Dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan dirinya, yang secara akal sangat cerdas dan secara fisik sangat kuat, sang petarung tersebut menjalankan serentetan rencana hebat dalam waktu kurang dari 48 jam. Seorang Thomas dengan segala kemampuannya mencoba memutar balik fakta ekonomi negara yang sudah hampir pasti terjadi.

Apakah Thomas akan berhasil membuat pemerintah memutuskan untuk menggelontorkan uang untuk menyelamatkan Bank Semesta, atau pada akhirnya semua usaha Thomas hanya sia-sia belaka?

Tensi yang terus tinggi dari awal hingga akhir cerita, diwarnai berbagai kenyataan tentang bobroknya mental para pemangku tanggung jawab dan begitu manipulatifnya dunia ekonomi, membuat novel ini layak Anda masukkan dalam to-read list. Penilaian pribadi dari saya, novel ini akan sangat menarik jika diangkat ke layar lebar. Plot yang padat dan sarat aksi, pasti menarik untuk dinikmati secara visual.

Dari beberapa novel Tere Liye yang sudah saya baca, topik dan cerita novel ini bisa dibilang cukup melawan arus. Tapi dengan begitu, hal ini justru membuktikan bahwa betapa seorang Tere Liye tidak hanya pandai bermain dengan kata dan makna yang dalam, tapi juga kreatif dalam menyusun alur cerita yang padat dan rumit.

Over all score: 7.8/10

Negeri 5 Menara


Film ini diangkat dari novel Ahmad Fuadi, seorang novelis yang mengangkat pengalaman pribadinya ke dalam novel tersebut. Jujur, untuk sebuah pengalaman pribadi, cerita dalam novel ini cukup sulit untuk sekedar diterima oleh pembacanya. Namun, seperti itulah semangat yang ingin disampaikan dalam novel ini – yang akhirnya dengan sangat baik disampaikan juga lewat filmnya – yaitu semangat “Man Jadda, Wajada! : Siapa yang bersungguh-sungguh, niscaya akan berhasil!”.

***

Seorang anak bernama Alif, seorang anak Sumatera Barat, Padang Panjang, yang baru saja lulus SMP dan menemui persimpangan hidupnya. Ia bercita-cita ingin berkuliah di ITB dan untuk mencapainya, melanjutkan SMA di Bandung seakan menjadi harga mati untuknya. Namun, sang Ibu berkehendak lain. Ia diminta untuk melanjutkan sekolahnya di sebuah pondok pesantren di Jawa. Tentu saja hal ini menjadi sebuah pilihan yang sangat berat untuk Alif, sebuah persimpangan antara mimpinya dan permintaan dari Ibunya. Konflik batin seperti ini mungkin sama seperti yang dirasakan oleh banyak anak-anak yang memiliki cerita yang sama, karena pada pandangan umum, pesantren adalah harga mati untuk sebuah ketertutupan, kekakuan agama, dan jauh dari dunia luar. Sang Ayah pun mendukung permintaan ibunya. Ia rela menjual kerbau satu-satunya untuk membiayai anaknya tercinta ke pesantren.

Satu nasehat yang sangat baik menurut saya adalah ketika sang ayah berkata tentang jual beli kerbau yang ia lakukan di pasar,

“Apakah kau lihat ketika ayah menjabat tangan si pembeli di bawah sarung, dan melakukan tawar menawar harga kerbau? Seperti itulah hidup. Jabatlah saja dulu kehidupan, baru nanti kau akan tahu kebaikannya. Jangan hanya menilai dari luar saja.”

Sang ayah menasehati anaknya untuk menjalani dulu pilihan ibunya yang mungkin ia anggap buruk. Akhirnya, Alif memutuskan dengan berat hati untuk menuruti permintaan ibunya dan bersama sang ayah pergi merantau ke Jawa, ke sebuah pesantren bernama Madani.

Kehidupan di pesantren dibuka dengan proses di mana Alif bertemu dengan 5 orang temannya, Raja, Baso, Dulmajid, Atang, dan Said yang kesemuanya berasal dari daerah yang berbeda-beda. Hari pertama belajar di bangku pesantren adalah hal yang sangat tidak ia sangka. Sang Ustad masuk ke dalam kelas membawa sebilah pedang berkarat dan sebatang kayu. Tanpa basa-basi, sang Ustad mengeluarkan pedang itu dan menebas batang kayu itu berkali-kali. Pedang yang nampak berkarat dan tumpul itu seakan tidak mampu melukai batang kayu itu sedikit pun. Namun, sang Ustad terus dan terus menebas sampai akhirnya batang kayu itu pun terpotong. Tentunya dengan napas yang tersengal. Lalu, sang Ustad pun menyampaikan satu pesan yang menjadi nafas utama di film ini yaitu sebuah pepatah Arab: Man Jadda, wajada! Bukan yang paling tajam, tapi siapa yang bersungguh-sungguh, dia yang berhasil!. Pepatah itu pun digemakan oleh seluruh isi kelas dan menjadi semangat bagi 6 orang sahabat tersebut.

Kehidupan dan lika-liku di lingkungan pondok pesantren begitu apik diceritakan oleh sang penulis skenario. Saya yang pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren tentu sangat “mengikuti” setiap alur cerita yang disajikan. Dari mulai obrolan dan kenakalan santri, lekatnya persahabatan satu atap, ketatnya peraturan dan galaknya para Ustad, indahnya beraktivitas bersama sepanjang hari, serta berbagai hal yang hanya bisa ditemui di lingkungan pondok lainnya. Termasuk di dalamnya diselipkan cerita ketika Alif bertemu seorang gadis keponakan pimpinan pesantren yang membuatnya jatuh hati.

Beberapa plot cerita yang menarik untuk dibagi adalah tentang cerita utamanya, yaitu 6 orang sahabat yang sangat dekat. Mereka selalu bersama hampir di setiap saat. Dan satu tempat favorit mereka ialah di bawah menara pondok. Oleh sebab itu lah mereka menamakan diri mereka Sohibul Menara. Di bawah menara ini lah tercetus sebuah cita-cita dan janji mereka. Cita-cita mereka untuk menjelajahi dunia sejauh-jauhnya, menapaki tempat-tempat yang ada di benua lain. Mereka pun berjanji, suatu saat nanti, mereka akan mengumpulkan foto masing-masing di bawah menara yang mereka singgahi di tempat mereka berada nanti. Itulah asal nama negeri 5 menara. Cita-cita ini lahir dari sebuah paradigma baik yang disampaikan oleh sang pemimpin pesantren bahwa pondok pesantren itu bukan hanya sebuah sekolah agama, tapi pondok pesantren adalah sekolah kehidupan dengan pemikiran yang sangat terbuka, tidak hanya terbatas pada agama. Pesantren juga mengajarkan tentang ilmu pengetahuan dan sosial sehingga dapat diterapkan di masyarakat kelak.

Plot menarik lainnya adalah ketika salah satu dari Sohibul Menara, Baso, harus pergi meninggalkan pesantren. Ia harus merawat neneknya di kampung dan tidak bisa melanjutkan studi di pesantren. Sejak saat itu lah terjadi berbagai konflik. Alif yang memang sejak awal menjalani pesantren dengan setengah hati sempat memutuskan untuk keluar dan pindah ke Bandung, mengejar impiannya semula. Namun, ia menjatuhkan pilihan untuk tetap bertahan di pesantren dan mungkin keputusan itu lah yang menjadi keputusan yang paling berharga dalam hidupnya. Konflik batin seperti ini juga tak jarang dialami oleh santri-santri di kehidupan nyata.

Film ini ditutup dengan sebuah pertunjukkan teater yang dibuat oleh para Sohibul Menara bersama seluruh teman satu angkatannya. Mereka mempertunjukkan sebuah teater di depan massa pesantren dengan sangat baik. Sesaat sebelum film berakhir, plot cerita dibawa bertahun-tahun ke depan untuk menunjukkan kisah sukses setiap Sohibul Menara dengan cerita suksesnya masing-masing.

***

Dari segi sinematografi (alah, kaya yang ngerti), akting para pemain di film ini seperti sedang tidak berakting. Itu lah satu hal yang saya acungi banyak jempol. 6 orang pemeran utama dalam film ini seakan sudah kenal bertahun-tahun, benar-benar hidup di pesantren, dan seakan tidak sedang menjalani sebuah naskah skenario. Silakan buktikan dan bandingkan dengan film-film yang lain, yang mungkin dimainkan oleh aktor-aktor professional yang sudah terkenal.

Bagi saya seorang mantan santri pondok pesantren, Negeri 5 Menara bukan sekedar film. Negeri 5 Menara menjadi sebuah ringkasan pengalaman selama beberapa tahun di pagar pesantren yang hampir pasti dialami oleh setiap santri di Indonesia. Begitu banyak pesan moral dan inspirasi yang bisa didapat dari film ini, terutama tentang cita-cita dan mental baja yang pernah dibentuk di pondok pesantren, sebuah sekolah kehidupan, yang begitu besarnya sehingga saya merasa begitu malu jika tidak mengeluarkan usaha yang sama keras dengan mereka. Saya merasa begitu malu jika tujuan mulia sebuah pondok pesantren didirikan berakhir hanya sebagai ijazah dan cerita saja di tangan lulusan-lulusannya. Sebuah pepatah Arab YANG JUGA SELALU DIAJARKAN oleh salah satu guru saya, MAN JADDA WAJADA, bahkan tidak pernah luput dituliskan di setiap lembar ujiannya, adalah sebuah energi yang bisa membuat apa saja menjadi mungkin. Film ini membawa lulusan pondok pesantren kembali ke masa-masa indah di pondok serta me-refresh kembali mental pejuang yang ada di dalam diri. Sangat layak untuk ditonton. Sekian.

Hafalan Sholat Delisha


ini poster filmnya

Nih film nontonnya bareng-bareng sama keluarga, cuma kurang babeh aja. Kurang lebih di hari keenam peluncuran film ini.

Film yang diangkat dari novel Tere Liye ini intinya mengisahkan tentang kisah seorang anak perempuan, umurnya 6 tahun, yang berjuang menjalani kehidupannya pasca tsunami di Aceh yang diceritakan beriringan dengan usahanya menghafalkan bacaan sholat.

Setting film ini di daerah Aceh, seperti yang dituliskan dalam novelnya, tepatnya di daerah Lhok Nga. Diawali dengan penggambaran kehidupan Delisha bersama tiga orang kakak perempuannya dan ibunya sementara ayahnya sedang melaut di tengah samudra. Lika-liku kehidupan mereka berlima disajikan dengan bumbu canda, hikmah, dan yang paling utama kebijaksanaan dan kasih sayang seorang ibu dalam mendidik keempat putrinya tersebut. Diceritakan Delisha sebagai anak bungsu, kesulitan dalam menghafal bacaan sholatnya sementara ia harus melalui ujian sholat di madrasahnya agar bisa mendapatkan hadiah sebuah kalung dari ibunya.

Tsunami pun melanda, tepat ketika Delisha sedang khusyuk menjalani ujian hafalan sholatnya di sekolah. Seluruh daerah Lhok Nga luluh lantah tersapu air laut. Tak banyak orang yang bertahan hidup. Tak banyak bangunan yang tetap berdiri. Permainan story board yang cukup bagus ketika scene ini terutama untuk menggambarkan bagaimana Delisha seorang diri terombang-ambing dalam ribuan galon air, dan akhirnya terdampar di pantai karang dengan kaki yang terluka parah. Hanya ia yang berhasil selamat di keluarganya, sementara ibu dan tiga orang kakaknya tewas dalam bencana itu.

Ia berhasil diselamatkan setelah seorang tentara Amerika bernama Smith berhasil menemukannya dalam kondisi masih bernafas. Tapi sayang, kaki kanannya harus diamputasi. Selama beberapa hari, Smith dan seorang suster bernama Shofi merawat dan memperhatikan Delisha yang tetap tidak sadarkan diri. Delisha pun akhirnya sadarkan diri setelah mendengar bacaan Al-Quran seorang pasien di ruang perawatan tersebut. Hari-hari pasca siuman ia jalani dengan tabah dan tetap ceria, seakan tidak ada kesedihan yang ia rasakan, meskipun ia harus berjalan dengan tongkat dan satu kakinya.

Mendengar kabar bencana melanda kampungnya, sang Ayah pun panik dan segera mencari jalan untuk menuju ke sana secepat mungkin. Mengetahui rumahnya telah rata dengan tanah, ia menangis sehabis-habisnya. Ia belum mendengar kabar tentang keluarganya satupun. Sampai satu per satu, anak perempuannya dikabarkan telah ditemukan dan dikuburkan, dan hanya tersisa Delisha dan sang Ibu yang belum ditemukan. Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan sang Ayah yang dalam sekejap ditinggalkan orang-orang terecintanya, dan Reza Rahardian dengan apik mampu menggambarkannya.

Dalam kebingungannya, ia pun mendapat kabar bahwa Delisha masih hidup dan dirawat di rumah sakit darurat. Pertemuan ia dan Delisha pun cukup mengharukan, dengan disaksikan oleh Shofi dan Smith yang setia menjaga Delisha.

Delisha bersama ayahnya berjuang untuk bangkit dan membangun kembali kehidupan mereka. Konflik-konflik kecil, trauma pasca bencana, dan kesedihan serta kerinduan menjadi bagian yang sangat menarik dalam film ini. Delisha bersama semangat dan kepedihannya dengan sangat apik diperankan oleh pendatang baru Chantiq Schagerl. Perannya sangat alami dan tidak kaku; penuh penghayatan dan untuk anak seumurnya, berkali-kali melakukan akting menangis yang baik bukanlah hal yang mudah. Menurut saya, keunggulan utama dari film ini terletak pada pemeran Delisha ini.

Film perlahan ditutup dengan proses Delisha dalam menghafal bacaan sholatnya secara sempurna dan perjuangannya menebarkan semangat bagi orang-orang di sekitarnya.

Untuk sebuah film yang diangkat dari novel, seperti film-film serupa, saya menilai sutradara masih kurang apik dalam menggarap penggambaran dan translasi adegan-adegan dalam novelnya. Meski tidak seluruhnya, saya sempat membaca novel tersebut di bagian awal, tengah, dan akhirnya dan menurut saya, banyak bagian-bagian yang sebenarnya memiliki kekuatan dan daya tarik dalam novelnya, justru tidak ditampilkan dalam filmnya. Salah satunya adalah narasi dan penggambaran perjuangan Delisha ketika bertahan hidup setelah tsunami dan seberapa ia begitu mencintai dan memaknai hafalan sholatnya saat bertahan beberapa hari tanpa makan minum. Selain itu, dari segi penggunaan efek pun digarap dengan kurang baik. Banyak scene yang penggunaan efek visualnya justru sangat mengganggu karena kualitasnya yang kurang baik seperti ketika tsunami.

Namun, di samping berbagai kekurangannya, banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari film ini. Keteguhan, kesabaran, semangat, serta ketulusan Delisha sangat dapat kita jadikan pelajaran. Kegigihan sang Ayah, serta ketulusan Smith dan Shofi dalam memberikan pertolongan pun cukup menyentil dan menggelitik sisi kemanusiaan penonton. Kita juga akan dipaksa meneteskan air mata beberapa kali, baik itu ketika scene yang mengharukan dengan akting yang sangat baik, maupun ketika scene di mana kita diajak untuk mengingat kasih sayang seorang ibu.

Satu pesan yang ingin disampaikan sejak awal cerita hingga akhir cerita adalah :

Lakukanlah segala hal dengan ikhlas, bukan karena hadiah atau imbalan yang ingin kita dapat.

Saran : mending nonton filmnya dulu, baru baca novelnya 😀

Oia, novel Tere Liye yg lain banyak juga lho. Salah satunya Bidadari-Bidadari Surga, dan kayaknya lebih bagus yang ini kalau mau dibikin film karena plot cerita tunggal, pendek, dan jelas tapi banyak latar belakang.

Ini cover buku yang cetakan terakhir