Kali ini resensi tentang sebuah biografi dari seorang wanita muda bernama Merry Riana. Judulnya Mimpi Sejuta Dolar. Sebenarnya buku ini sudah lama sekali saya baca. Buku itu saya baca hanya dalam satu hari ketika perjalanan berkelana di Bandung (baca: di dalam angkot di tengah macet). Untuk sebuah biografi yang ditulis bukan oleh tokohnya sendiri, buku ini cukup baik menceritakan dan menggambarkan perjuangan tokoh di dalamnya. Perjuangan yang mungkin untuk beberapa kalangan dianggap “terlalu keras terhadap diri sendiri” atau “terlalu money-oriented”. Tapi bagi saya, pesan paling kental yang bisa diambil adalah betapa mimpi itu harus diperjuangkan, bahkan ketika pengorbanan itu di luar batas normal orang-orang pada umumnya.
***
Kisah Merry, yang seorang keturunan tionghoa, berawal ketika kerusuhan tahun 1998. Kala itu, ibukota bak neraka. Terutama untuk mereka yang punya keturunan cina. Bukan hanya tokonya dijarah, tapi mereka yang tionghoa menjadi bulan-bulanan perusuh, dikambinghitamkan atas fenomena krisis moneter saat itu.
Di saat yang sama, Merry remaja baru saja berbahagia merayakan kelulusan SMA. Ia bersama lulusan Santa Ursula lainnya seakan menyambut gerbang menuju mimpi yang sudah meraka susun. Tak terkecuali Merry yang bercita-cita melanjutkan studi ke PTN ternama di Indonesia. Ia sudah membayangkan menjadi seorang mahasiswi dengan kehidupan kampus yang menyenangkan.
Tapi semua cita-cita itu harus dipendam dalam-dalam. Dengan kondisi semencekam itu, banyak warga tionghoa yang akhirnya memutuskan untuk mengungsi sementara ke luar negeri. Orang tua Merry pun berpikiran begitu. Mereka sangat mengkhawatirkan putrinya. Maka dengan berat hati, Merry harus menerima rencana baru dari orang tuanya: melanjutkan studi di Singapura. Meskipun bukan keluarga kaya, mereka memberanikan diri melepas Merry ke Singapura dengan biaya seadanya dan dengan bantuan pinjaman biaya kuliah dari bank Singapura. Sebuah langkah yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh keluarga sederhana itu.
Tapi, keputusan Merry untuk mengikuti keinginan orang tuanya itu, meski sangat berat, justru menjadi pintu menuju kehidupannya yang baru. Seperti langkah itu, kehidupan ini pun belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Kehidupan di kampus Nanyang Technology University dilalui Merry remaja dengan penuh perjuangan. Bukan sekali dua ia harus mati-matian bertahan hidup dengan makanan yang sangat sederhana. Bagaimana tidak? Sementara orang tuanya di tanah air membanting tulang mencari nafkah di tengah krisis, ia hanya mendapat kiriman uang yang sangat terbatas. Di Indonesia, dengan uang yang sama mungkin Merry bisa hidup sejahtera. Namun di Singapura, yang dikenal tinggi biaya hidupnya, makan siang dengan sayur tahu di kantin asrama adalah makanan mewah baginya untuk beberapa tahun di NTU. Sisanya, ia sumpal perutnya dengan mie instan atau roti. Ia pun tidak mungkin meminta lebih pada orang tuanya dan hanya bisa “memberi kabar baik” tiap kali berkomunikasi dengan tanah air.
Hebatnya ia, getir kehidupan selama masa krisis moneter di negeri orang itu bukan dijawab dengan keluhan dan kesedihan. Semua kesusahan itu menjadi pecut baginya untuk membuat dan mencapai sebuah mimpi besar: mencapai kebebasan finansial di usia muda. Ya, Mimpi Sejuta Dolar.
Sebuah pengalaman bekerja sebagai pegawai magang di sebuah perusahaan membentuk sebuah opini baru dalam benaknya. Ia berpikir bahwa menjadi pegawai bukan jalan yang sesuai dengan mimpinya. Karena menurutnya, menjadi pegawai adalah karir yang pasti punya “batas”. Batas yang pasti mencegahnya dari mencapai mimpi sejuta dolarnya. Maka dengan penuh pertaruhan, Merry bersama Alva, teman kuliahnya yang kelak menjadi suaminya, memutuskan untuk berjuang dalam dunia wirausaha. Mereka memutuskan untuk menapaki usaha finansial consulting yang diawali dari tingkatan sales produk keuangan yang memasarkan produknya di tempat keramaian. Bisa dibayangkan betapa berat tanggapan lingkungan yang harus ia hadapi. Salah satu lulusan terbaik NTU justru memutuskan untuk menjadi sales.
Tapi ternyata, keputusan itu adalah keputusan yang benar. Menanjaki karir sebagai financial consultant dari nol, hingga pada umur 26 tahun, kurang lebih 4 tahun sejak kelulusannya, ia berhasil mengumpulkan satu juta dolar pertamanya.
Bukan tentang pencapaiannya yang menarik buat saya tapi perjalanan dan perjuangan kerasnya untuk mencapai mimpi itu. Menjadi seorang sales yang harus mencapai target 20 presentasi sehari, meskipun ia harus kuat beraktifitas hingga lebih dari 12 jam sehari. Bagaimana upayanya Merry dan Alva saling menguatkan, juga jadi poin yang menarik untuk direnungkan. Mereka melengkapi satu sama lain.
Sekilas, kita mungkin akan melihat begitu ambisiusnya seorang Merry Riana dengan mimpinya dalam buku ini. Tapi bukan jadi satu hal yang sia-sia selama sikap itu berada pada jalur yang benar. Energinya tersalurkan pada kanal yang benar sehingga bukan sekali dua ia dibukakan jalan oleh Tuhan yang tidak pernah ia kira. Alberthiene Endah sebagai penulis cukup baik menggambarkan emosi seorang Merry ketika ia dihadapkan dengan berbagai kesulitan maupun keajaiban.
***
Bagi saya, buku ini cukup memberi energi. Meskipun ada sedikit ketidakcocokan dengan orientasi materi yang begitu kental, tapi prinsip “perjuangan sampai titik darah terakhir”-nya seorang Merry Riana menjadi satu pelajaran penting. Saya mungkin tidak menuliskan secara detail seberapa keras perjuangannya karena saya rasa lebih baik pembaca sendiri yang membacanya di buku itu.
Jangan heran ketika nanti beberapa kali pembaca berpikir, “Ih, kok segitunya ya orang ini?” atau “Apa harus sekeras itu pada diri sendiri?”.
Tapi kenyataannya memang begitu, perjuangan mati-matian tidak pernah jadi sia-sia, meskipun awalnya terlihat percuma dan tidak ada dampak yang dirasakan. Merry Riana jadi salah satu bukti hidup orang Indonesia yang jerih payahnya diakui dunia.