Cipratan Ban Motor


dari edwinforce.blogspot.com

Seorang bijak di sebuah kota besar, suatu hari didatangi oleh perantau yang bermaksud belajar kebijaksanaan padanya. Sang bijak pun lantas mengajak sang perantau untuk mengunjungi rumahnya. Mereka berencana untuk berkeliling kota dan mencari pelajaran dari perjalanan mereka.

Namun, tiba-tiba hujan turun. Tidak lama, hanya beberapa saat. Hanya beberapa menit sehingga cukup membuat jalan-jalan aspal di kota itu menjadi basah dan sedikit becek. Sang perantau pun agak kecewa karena rencana mereka pasti batal. Tapi, sang bijak justru mengajaknya berjalan-jalan di kota, namun tidak dengan berjalan kaki, melainkan dengan mengendarai sepeda motor. Anehnya, mereka tidak berboncengan dengan satu motor saja, melainkan masing-masing mengendarai motor. Sang perantau pun heran. Tapi, karena ia sudah bertekad untuk belajar dari sang bijak, ia pun tidak banyak bertanya. Sebelum berangkat dari rumah, tiba-tiba sang bijak berkata,

“Saudaraku, sebelum kita berjalan-jalan dengan motor ini, aku punya beberapa peraturan. Pertama, kamu yang menentukan akan ke mana kita pergi. Maka kamu akan selalu berada di depan, dan aku akan selalu berada tepat di belakangmu. Kedua, kamu tidak boleh menoleh ke belakang. Tidak usah khawatir, biar aku saja yang mengikutimu, ke mana pun kamu pergi.

Sang perantau pun bertambah heran. Tapi ia tetap melaksanakan apa yang diminta sang bijak. Mereka pun mulai berjalan di atas jalanan aspal yang basah, sehabis terguyur air hujan beberapa menit yang lalu. Seperti yang diminta oleh sang bijak, sang perantau berada di depan dan ia tidak menoleh sedikit pun ke belakang. Tapi dari bunyi mesin motornya, ia yakin bahwa sang bijak tepat ada di belakangnya.

Perjalanan pun mulai memasuki jalan raya, jalan di mana banyak pengendara motor lain yang juga melintasi jalan yang sama. Semuanya cukup menyenangkan melihat-lihat pemandangan kota sampai suatu saat ada seorang pengendara motor yang menyalip dan kini berada tepat di depan sang perantau. Putaran roda yang kencang dan kondisi jalan yang masih agak becek membuat air dari ban motor itu menyiprat hingga mengenai muka sang perantau. Ia pun marah dan mengumpat dengan suara keras. Berbagai makian ia tujukan pada pengendara motor itu sementara sang pengendara motor berlalu meninggalkan sang perantau.

Belum reda emosinya, tiba-tiba ada seorang pengendara motor lain melakukan hal yang sama. Ia menyalip dan air dari ban motor kembali terciprat tepat ke muka sang perantau. Makian yang lebih pedas lagi kali ini keluar. Mukanya begitu merah.

“Hei pengemudi tak tahu sopan santun! Dasar egois! Tidak memperhatikan orang lain! Dasar sialan!”, umpat sang perantau.

Dan tidak lama kemudian, ketika belum lagi reda emosinya, motor ketiga melakukan hal yang sama. Kali ini ia jauh lebih kesal. Ia sempat mempercepat laju motornya untuk mengejar namun tidak berhasil.

Saking marahnya, sang perantau sampai lupa pada sang bijak. Ia ingin memeriksa ke belakang namun itu akan melanggar peraturan. Maka, sekaligus untuk meredakan emosinya, ia pun menepi. Berhenti sejenak untuk menceritakan kekesalannya pada sang bijak. Begitu pula sang bijak, ia berhenti, mengikuti sang perantau.

Belum sempat ia mengatakan sepatah kata pun pada sang bijak, ia terdiam dan terkaget-kaget ketika melihat kondisi sang bijak. Bagaimana tidak? Hampir seluruh bajunya kotor dan basah terkena cipratan air tanah. Mukanya kotor dengan bercak-bercak lumpur. Begitu jelas sekali noda-noda tanah di bajunya yang berwarna cerah itu.

Sang bijak pun belum mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya tersenyum. Sang perantau baru menyadari bahwa sepanjang perjalanan tadi, ban motor yang ia kendarai menyiprati begitu banyak air dan tanah pada sang bijak. Sang perantau terdiam menyadari kesalahannya lalu meminta maaf pada sang bijak sambil mencoba membersihkan sebisanya. Lalu, sang bijak pun berkata,

“Begitulah kita, Saudaraku. Seringkali kita amat marah, kesal, dan memaki-maki orang lain yang melakukan suatu hal buruk pada kita. Padahal, tanpa kita sadari, kita juga sedang melakukan hal yang tepat sama dengan apa yang dilakukan orang tersebut. Menoleh lah sesekali ke belakang, ke orang-orang yang mungkin saja terkena “cipratan” dari sikap-sikapmu. Jika orang lain bisa melakukan hal yang sangat buruk padamu, bisa saja kamu juga melakukan hal yang sama pada orang lain.”

***

Bangsawan dan Ulama – Story About Self Consciousness


Alkisah, seorang bangsawan kaya di daerah timur tengah. Ia begitu kaya raya dan melimpah harta. Suatu hari, ia merenung dan merasa bahwa dirinya begitu hampa dan membutuhkan suatu pencerahan. Ia pun berniat untuk belajar kepada seorang ulama yang bijaksana di sebuah masjid di suatu daerah. Ia ingin mempelajari kebijaksanaan sang ulama dan menjadi lebih bijaksana.

from flickr.com

Singkat cerita, ia pun berhasil menemukan masjid yang ia cari; masjid tempat sang ulama biasa berdiam diri. Ia memasukinya dan sang ulama terlihat sedang duduk dan berdoa.

“Salam sejahtera, wahai ulama yang bijaksana. Perkenalkan, aku seorang bangsawan. Aku ingin belajar kebijaksanaan darimu. Aku ingin menjadi lebih bijak dalam menjalani kehidupanku”, sang bangsawan menyapa sang ulama dengan salam yang ramah.

“Baiklah, kamu boleh berguru padaku. Namun sebelumnya, aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu”, sang ulama pun menyambut sang bangsawan.

“Silakan guru, apa pertanyaan-pertanyaanmu?”, bangsawan.

“Ketika kau masuk ke masjid ini, apakah kau sudah meletakkan sandalmu dengan benar, tidak terbalik kanan dan kirinya?”, sang ulama mengajukan pertanyaan pertama.

Sang bangsawan pun bingung dan mengingat-ingat pertanyaan tersebut.

“Aku lupa wahai guru. Sebentar, aku periksa dulu”, bangsawan itu pun keluar dari masjid dan memeriksa sandalnya. Ia memeriksa sandalnya dan masuk kembali ke dalam.

“Sudah aku periksa guru, ternyata sandalku sudah kuletakkan dengan benar. Lalu, apa pertanyaan selanjutnya?” bangsawan bertanya lagi.

“Ketika tadi engkau memeriksa sandalmu, apa warna anak tangga yang kau lewati tadi?” ulama bertanya lagi.

Bangsawan pun makin bingung dan mencoba mengingat. Kali ini dia mulai berprasangka bahwa ia hanya dikerjai oleh sang ulama. Tapi ia mencoba untuk berprasangka baik, “Wah, sebentar guru, saya periksa dulu.”

Bangsawan pun keluar lagi dari masjid. Setelah memeriksa anak tangga, ia kembali masuk lagi.

“Warna kuning muda, wahai guru. Tapi aku masih bingung, apa maksud pertanyaan-pertanyaanmu tadi?” bangsawan pun mulai penasaran.

“Pertanyaan selanjutnya, ketika kamu memeriksa warna anak tangga tadi, ada berapa buah anak tangga yang kau lalui?” sang ulama tidak menjawab dan justru bertanya lagi kepada sang bangsawan.

Bangsawan mulai sedikit kesal. “Wahai guru, kalau memang masih ada pertanyaan lagi seputar hal di teras masjid sana, tanyakanlah semua sekaligus padaku supaya aku tidak harus bolak-balik.” Bangsawan dengan nada agak sedikit naik menyampaikan hal tersebut.

“Sudah, jawab saja dulu pertanyaanku,” sang ulama tetap tidak menanggapi.

“Aku tidak ingat guru, makanya biar aku periksa dulu,” bangsawan yang terhormat itu pun kembali keluar masjid untuk ketiga kalinya. Ia pun menghitung anak tangga itu satu persatu. Setelah menemukan  jawabannya, ia kembali lagi.

“Ada dua puluh anak tangga, Guru. Lalu apa maksud pertanyaanmu ini?” ia pun bertanya lagi.

Kali ini sang ulama tersenyum dan menjawab.

“Kau bukannya lupa. Kau memang tidak pernah ingat. Pelajaran pertama untuk menjadi bijaksana adalah dengan menjaga kesadaran diri kita. Kesadaran diri dalam menjalani setiap hal yang kita alami akan membuat kita menjadi lebih bijaksana. Kita seringkali mengalami suatu hal tapi karena kita tidak memiliki kesadaran diri maka tidak banyak pelajaran dan hikmah yang kita dapat.”

“Boleh jadi kita memiliki banyak sekali pengalaman. Tapi itu akan sia-sia saja jika kita tidak menjalaninya dengan cukup sadar. Kita hanya mendapatkan apa yang jelas terlihat atau yang kita anggap penting saja, sementara hal-hal yang kita anggap tidak penting tidak kita perhatikan. Padahal, bisa saja banyak hikmah yang diselipkan Tuhan pada hal-hal yang tidak penting itu.”

“Kita yang tidak sadar akan menjalani pengalaman besar dengan biasa saja. Sementara kita yang sadar akan menjalani sebuah peristiwa kecil dengan mendapat banyak hikmah, pelajaran, pembelajaran, dan kebijaksanaan. Hanya yang penuh kesadaran yang mampu menangkap maksud Tuhan dari setiap peristiwa, sekecil apa pun.”

Bangsawan itu pun paham dan berterima kasih kepada sang ulama. Semenjak hari itu, ia pun menjalani setiap peristiwa yang ia alami dengan penuh perhatian dan kesadaran sehingga ia menjadi orang yang lebih bijaksana.

– disarikan dari ceramah tarawih di masjid salman, dengan redaksi dan konten seinget penulis 😛 –

from sciencentechnologyupdates.com