Seorang bijak di sebuah kota besar, suatu hari didatangi oleh perantau yang bermaksud belajar kebijaksanaan padanya. Sang bijak pun lantas mengajak sang perantau untuk mengunjungi rumahnya. Mereka berencana untuk berkeliling kota dan mencari pelajaran dari perjalanan mereka.
Namun, tiba-tiba hujan turun. Tidak lama, hanya beberapa saat. Hanya beberapa menit sehingga cukup membuat jalan-jalan aspal di kota itu menjadi basah dan sedikit becek. Sang perantau pun agak kecewa karena rencana mereka pasti batal. Tapi, sang bijak justru mengajaknya berjalan-jalan di kota, namun tidak dengan berjalan kaki, melainkan dengan mengendarai sepeda motor. Anehnya, mereka tidak berboncengan dengan satu motor saja, melainkan masing-masing mengendarai motor. Sang perantau pun heran. Tapi, karena ia sudah bertekad untuk belajar dari sang bijak, ia pun tidak banyak bertanya. Sebelum berangkat dari rumah, tiba-tiba sang bijak berkata,
“Saudaraku, sebelum kita berjalan-jalan dengan motor ini, aku punya beberapa peraturan. Pertama, kamu yang menentukan akan ke mana kita pergi. Maka kamu akan selalu berada di depan, dan aku akan selalu berada tepat di belakangmu. Kedua, kamu tidak boleh menoleh ke belakang. Tidak usah khawatir, biar aku saja yang mengikutimu, ke mana pun kamu pergi.“
Sang perantau pun bertambah heran. Tapi ia tetap melaksanakan apa yang diminta sang bijak. Mereka pun mulai berjalan di atas jalanan aspal yang basah, sehabis terguyur air hujan beberapa menit yang lalu. Seperti yang diminta oleh sang bijak, sang perantau berada di depan dan ia tidak menoleh sedikit pun ke belakang. Tapi dari bunyi mesin motornya, ia yakin bahwa sang bijak tepat ada di belakangnya.
Perjalanan pun mulai memasuki jalan raya, jalan di mana banyak pengendara motor lain yang juga melintasi jalan yang sama. Semuanya cukup menyenangkan melihat-lihat pemandangan kota sampai suatu saat ada seorang pengendara motor yang menyalip dan kini berada tepat di depan sang perantau. Putaran roda yang kencang dan kondisi jalan yang masih agak becek membuat air dari ban motor itu menyiprat hingga mengenai muka sang perantau. Ia pun marah dan mengumpat dengan suara keras. Berbagai makian ia tujukan pada pengendara motor itu sementara sang pengendara motor berlalu meninggalkan sang perantau.
Belum reda emosinya, tiba-tiba ada seorang pengendara motor lain melakukan hal yang sama. Ia menyalip dan air dari ban motor kembali terciprat tepat ke muka sang perantau. Makian yang lebih pedas lagi kali ini keluar. Mukanya begitu merah.
“Hei pengemudi tak tahu sopan santun! Dasar egois! Tidak memperhatikan orang lain! Dasar sialan!”, umpat sang perantau.
Dan tidak lama kemudian, ketika belum lagi reda emosinya, motor ketiga melakukan hal yang sama. Kali ini ia jauh lebih kesal. Ia sempat mempercepat laju motornya untuk mengejar namun tidak berhasil.
Saking marahnya, sang perantau sampai lupa pada sang bijak. Ia ingin memeriksa ke belakang namun itu akan melanggar peraturan. Maka, sekaligus untuk meredakan emosinya, ia pun menepi. Berhenti sejenak untuk menceritakan kekesalannya pada sang bijak. Begitu pula sang bijak, ia berhenti, mengikuti sang perantau.
Belum sempat ia mengatakan sepatah kata pun pada sang bijak, ia terdiam dan terkaget-kaget ketika melihat kondisi sang bijak. Bagaimana tidak? Hampir seluruh bajunya kotor dan basah terkena cipratan air tanah. Mukanya kotor dengan bercak-bercak lumpur. Begitu jelas sekali noda-noda tanah di bajunya yang berwarna cerah itu.
Sang bijak pun belum mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya tersenyum. Sang perantau baru menyadari bahwa sepanjang perjalanan tadi, ban motor yang ia kendarai menyiprati begitu banyak air dan tanah pada sang bijak. Sang perantau terdiam menyadari kesalahannya lalu meminta maaf pada sang bijak sambil mencoba membersihkan sebisanya. Lalu, sang bijak pun berkata,
“Begitulah kita, Saudaraku. Seringkali kita amat marah, kesal, dan memaki-maki orang lain yang melakukan suatu hal buruk pada kita. Padahal, tanpa kita sadari, kita juga sedang melakukan hal yang tepat sama dengan apa yang dilakukan orang tersebut. Menoleh lah sesekali ke belakang, ke orang-orang yang mungkin saja terkena “cipratan” dari sikap-sikapmu. Jika orang lain bisa melakukan hal yang sangat buruk padamu, bisa saja kamu juga melakukan hal yang sama pada orang lain.”
***